Paradoks Pendidikan Vokasional
Pola Logo Neutron Yogyakarta
Paradoks Pendidikan Vokasional
Berita Pendidikan

Paradoks Pendidikan Vokasional

Pada Februari 2020 menyebutkan bahwa sekitar lima persen dari angkatan kerja kita atau sekitar 6,88 juta penduduk Indonesia adalah pengangguran terbuka

Oleh Nana Jiwayana
22 Oktober 2020

Badan Pusat Statistik BPS per Februari 2020 menyebutkan bahwa sekitar lima persen dari angkatan kerja kita atau sekitar 6,88 juta penduduk Indonesia adalah pengangguran terbuka yang artinya mereka tidak bekerja sama sekali. Ironisnya, kebanyakan dari pengangguran tersebut merupakan pengangguran terdidik. Lulusan SMK menjadi lulusan yang paling berkontribusi pada angka pengangguran tersebut, yaitu sekitar 8,49% , disusul SMA sebesar 6,77%, kemudian lulusan diploma sebesar 6,76%, lulusan universitas 5,73%, menyusul lulusan SMP sebesar 5,02%, dan terakhir lulusan SD sebesar 2,64%.

Berdasarkan data di atas, dapat kita ketahui bahwa pendidikan, khususnya pendidikan vokasional yang diharapkan dapat mengurangi jumlah pengangguran, nyatanya belum sesuai harapan. Bahkan, berdasarkan data tersebut kita melihat adanya paradoks dari pendidikan vokasional ini. Tujuan utama digelarnya pendidikan vokasional adalah untuk mengurangi pengangguran. Lulusan dari pendidikan vokasional disiapkan untuk bisa diterima di dunia kerja. Akan tetapi, berdasarkan data tersebut lulusan dari pendidikan vokasional justru paling banyak memberikan kontribusi terhadap jumlah pengangguran terdidik.

Salah satu tujuan dari pelaksanaan pendidikan nasional adalah membentuk manusia yang cakap. Secara teknis, kemampuan itu dapat ditunjukkan dengan terserapnya lulusan satuan pendidikan kita yang diserap oleh dunia kerja. Munculnya banyak pengangguran terdidik, khususnya lulusan dari sekolah vokasional menunjukkan bahwa mutu lulusan kita tidak cakap. Hal ini juga menunjukkan bahwa pendidikan kita telah gagal membentuk manusia yang aktif, kreatif, dan inovatif. Pendidikan vokasional kita pada kenyataannya belum mampu menjawab kebutuhan dunia kerja. Ada mismatch antara pendidikan vokasional dengan pasar kerja yang harus segera dibenahi agar lulusan pendidikan vokasional tidak menjadi pengangguran.

Penyelarasan pendidikan vokasional dengan pasar kerja harus segera dilakukan melalui sinkronisasi kompetensi lulusan berbasis kebutuhan industri. Hal ini dapat dilakukan dengan pengintensifan program pemagangan di dunia-dunia industri. Program pemagangan jangan hanya dilaksanakan sebatas pemenuhan administrasi. Akan tetapi, program ini harus dilakukan dengan ideal agar memastikan para siswa mendapat pengalaman kerja sekaligus menambah kompetensinya di dunia kerja.

Upaya lain yang dapat dilakukan adalah membangun jiwa-jiwa entrepreneur kepada siswa pendidikan vokasional. Keahlian yang sudah terasah untuk dunia kerja bisa saja belum menjamin para lulusan pendidikan vokasional dapat terserap dunia kerja. Hal ini sangat mungkin terjadi dengan terbatasnya lapangan kerja yang tersedia di dunia industri. Dengan terbatasnya lapangan pekerjaan tersebut, sangat memungkinkan lulusan dengan kompetensi yang baik, bahkan terbaik tidak akan mendapat pekerjaan. Namun, bila jiwa entrepreneurnya sudah terbangun, para lulusan akan dengan mandiri membuka lapangan pekerjaannya sendiri.

Jiwa entrepreneur para lulusan akan menciptakan manusia-manusia yang mandiri yang dapat terlepas dari ketergantungan lapangan pekerjaan yang disediakan industri. Ada tidaknya lapangan pekerjaan yang tersedia di dunia industri, tidak akan berpengaruh kepada para lulusan pendidikan vokasional yang telah memiliki jiwa entrepreneur. Kemandirian para lulusan untuk menciptakan usahanya sendiri akan berjalan dengan efektif dan maksimal bila didukung pemerintah dan pihak swasta. Baik pihak pemerintah maupun pihak swasta, dapat berkontribusi besar terhadap upaya penurunan jumlah pengangguran dari lulusan pendidikan vokasional ini dengan memberikan pendanaan melalui CSR dan sebagainya untuk mengembangkan usaha yang dirintis oleh para lulusan pendidikan vokasional.