Sistem Zonasi, Berkah atau Musibah?
Pola Logo Neutron Yogyakarta
Sistem Zonasi, Berkah atau Musibah?
Berita Pendidikan

Sistem Zonasi, Berkah atau Musibah?

Sistem zonasi di Indonesia yang menghilangkan stigma sekolah favorit dan tidak favorit.

Oleh Drs. H. Imam Pujianto
29 September 2019

Bapak: Belajar yang rajin ya nak biar pinter

Anak: Memangnya kenapa kalau pinter Pak?

Bapak: Kalau pinter kamu bisa masuk sekolah favorit

Anak: Bapak keliru

Bapak: Apa? Bapakmu keliru?

Anak: Keliru pakai banget Pak, zaman sudah berubah. Bapak yang harus bekerja keras biar bisa beli rumah di dekat sekolah favorit

Bapak : *kebingungan*

Percakapan di atas hanya sebuah anekdot yang mencoba menyuarakan keresahan sebagian masyarakat yang merasa bahwa sebuah kepandaian, kecerdasan tidak lagi dihargai di era sistem penerimaan siswa baru menggunakan zonasi.

Di berbagai daerah, muncul demo warga yang menolak sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Anekdot di atas adalah bagian dari "Demo" yang banyak muncul di dunia maya. Dengan kekritisannya, warga mencoba menkritisi sistem zonasi, plus minus serta dampak yang dirasakan masyarakat.

Sebenarnya, sistem zonasi ini substansinya adalah pemerataan pendidikan. Mendikbud Muhadjir Effendy menggunakan diksi "Menghilangkan Kastanisasi". Keinginannya, tak ada lagi stigma sekolah favorit dan tidak favorit. Anggapan sekolah favorit itu memang amat lekat di masyarakat, sampai hari ini. Maka, konsekuensinya pasti diperebutkan.

Dulu, siswa yang ingin mendapatkan sekolah favorit yang notabene unggulan harus berjuang keras mendapatkan nilai ujian nasional yang tinggi agar bisa diterima. Dengan demikian sistem penerimaan peserta didik baru berbasis pada prestasi akademik siswa. Sistem ini kemudian dievaluasi karena berdampak pada mengumpulnya siswa berprestasi akademik tinggi di satu sekolah. Dampak langsungnya adalah tidak meratanya kualitas sekolah pada khususnya dan kualitas pendidikan pada umumnya. Dengan argumentasi pemerataan, Kemendikbud kemudian menerapkan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru.

Sebenarnya langkah Kemendikbud tidak salah tetapi mengandung masalah. Menjadi masalah karena penerapan sistem zonasi ini tidak berlangsung secara komprehensif. Mestinya sebelum sistem ini diterapkan, Kemendikbud sudah harus memastikan bahwa sarana dan prasarana setiap sekolah sudah setara. Demikian pula kualitas tenaga pendidik di setiap sekolah juga sudah sebanding. Kedua aspek tersebut (sarana prasarana sekolah dan kualitas guru) menjadi kunci dari konsep pemerataan sekolah yang diinginkan. Jika siswa diharuskan masuk sekolah sesuai zonanya, sementara fasilitas, sarana atau prasarana sekolah tersebut tak memadai, keinginan pemerataan menjadi absurd dan dipaksakan.

Jika persoalan sarana atau prasarana sekolah dan kualitas guru dapat diselesaikan, tidak akan ada lagi gejolak dan penolakan terhadap sistem zonasi ini karena pendidikan murah dan berkualitas sejatinya adalah hak setiap warga negara.